Judul Film : Jokowi
Genre : Drama
Sutradara : Anzhar Kinoi Lubis
Bintang : Teuku Rifnu Wikana, Prisia Nasution, Ayu Dyah
Pasha, Susilo Badaar, Landung Simatupang, Ratna Riantiarno
Produksi : K2K Pictures
Rilis : 20 Juni 2013
Rated : *****
Seperti halnya ketika
menyaksikan Habibie dan Ainun, Soegija, juga Sang Kyai, saya
melepaskan pandangan politik menyaksikan Jokowi. Maksudnya agar bisa
menikmati film yang disutradarai oleh Anzhar Kinoi Lubis sekaligus juga
mendapatkan “sesuatu” yang biasa dibawa pulang, selain hiburan. Sekalipun
berbeda dengan ketiga film di atas, harus diakui Jokowi punya magnitut
karena dia adalah figur Gubernur DKI Jakarta yang sedang menjabat, bukan
seperti Habibie sudah lepas dari kekuasaan politik.
Hasilnya, separuh film ini
yang menceritakan bagian Jokowi masa kecil merupakan bagian yang paling
menarik. Sutradara cukup detail, misalnya dalam menggambarkan situasi Surakarta
pada 1961. Adegan pembukaan ketika Notomiharjo (Susilo Badar) tergesa-gesa
menaiki sepeda onthelnya, dengan termos air masa itu berwrana merah (buatan
RRC) melintasi pasar bersamaan dengan penggusuran pamong praja terhadap
pedagang kaki lima. Notomihardjo sendiri sempat hendak ditangkap, padahal
istrinya hendak melahirkan. Anak yang dilahirkan itu bernama Joko Widodo.
Notomiharjo adalah seorang
tukang kayu yang pontang-panting menghidupi keluarganya. Dia sempat diusir dari
rumah karena tidak sanggup bayar kontrakan rumah. Akhirnya dia ditolong oleh
seorang warga yang iba melihatnya makan semangkuk soto berdua dengan istrinya
sambil membawa bayi. Mereka tinggal di rumah milik Suroso sampai umur Jokowi 4
tahun. Di sini ada adegan menarik dialog antara Jokowi dengan kakeknya melalui
wayang orang tentang figur Semar. “Jadi pejabat itu tidak perlu mentereng”,
terang kakeknya. Straight point menanamkan nilai pada Jokowi.
Peristiwa 30 September 1965
digambarkan dengan mencekam di Surakarta, orang-orang digiring bagaikan ternak
karena dituduh PKI termasuk Suroso yang menolong keluarga ini. Khawatir
terlibat Notomiharjo sekali lagi membawa keluarga minggat. Padahal Notomihardjo
sudah punya anak kedua. Adegan pindah ke 1973 ketika keluarga Notomiharjo
tinggal di ruamh kontrakan yang pemiliknya penganut agama Katolik.
Periode ini penting karena di
sinilah Jokowi ditanamkan nilai-nilai, seperti menghargai perbedaan, menolak
disuap oleh kawan sepengajiannya agar tidak diadukan kabur waktu belajar.
Detailnya baik sekali Rp 5 masa itu berharga bagi anak-anak untuk jajan dan
beberapa keping Rp 5 disodorkan ke Jokowi dan ditolak.” Saya tidak bisa”
(seingat saya jumlah itu cukup untuk membeli semangkuk bubur di Jakarta waktu
saya masih SD tahun 1970-an). Untuk itu Jokowi kena pukul.
Tragisnya ketika pulang Jokowi
berkelahi oleh ayahnya. Notomiharjo memukuli dirinya sendiri dengan rotan di
depan Jokowi, ibunya dan tiga adik perempuannya. Ia menghukum dirinya sendiri
untuk menunjukkan rasa bersalahnya. Adegan yang mencekam dan brilian, membuat
saya menangis. Jokowi ditanamkan nilai untuk menepati janji. Selanjutnya dari
masa ke masa falsafah yang ditanamkan kakek dan ayahnya membentuk pribadi
Jokowi hingga kuliah. Seperti falsafah tukang soto yang melayani setiap
permintaan harus dianut seorang pemimpin. Termasuk juga Jokowi tertarik pada
music rock dan disangka ibunya ikut orang-orang yang tidak benar.
Saya tidak terlalu tertarik
dengan kisah sesudah periode kuliah. Kecuali, adegan sang ayah menyerahkan
tabungan untuk menebus jam tangannya mengingatkan saya pada adegan ayah yang
menjual mobilnya agar anaknya kuliah dalam 9 Summers 10 Autumns. Juga
kisah asmara Jokowi dan Iriana anak orang kaya menerima Jokowi apa adanya wajar
masa itu banyak film Indonesia 1970-an, ketika achievement lebih diperhatikan
para gadis dalam memilih pasangannya dari pada status orang tua. Jelas Iriana
memilih pemuda yang jujur, anak kuliahan yang punya otak cemerlang. Selanjutnya
biasa saja.
Teuku Rifnu Wikana bermain
cukup apik menirukan cara bicara dan tertawa Jokowi, gestur tubuhnya walaupun
tidak sekuat Reza Rahadian yang rohnya seperti kemasukkan Habibie. Prisia
Nasution memang sudah biasa memainkan kharakter perempuan Jawa. Kharakter ini
sudah dialami perempuan yang akrib dipanggil Pia itu dalam Sang Penari
dan beberapa judul FTV. Yang paling luar biasa adalah akting Susilo Badar
benar-benar total menjiwai seorang tukang kayu, orang Jawa Solo kalangan bawah
dengan pemikiran rata-rata orang sezaman, keras hati pada prinsipnya dan bukan
hanya gestur tubuh.
Yang patut jadi catatan ialah
poster film ini agak serupa dengan Habibie dan Ainun. Kurang kreatif
dan orisinil. Catatan lain kayaknya ada satu periode yang dilewatkan, yaitu
ketika Jokowi memimpin kota Solo. Tahu-tahu melompat lewat adegan berita
televisi ketika Jokowi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tanggung sekali. Jokowi
masih di bawah Habibie dan Ainun, namun tentunya masih di atas
rata-rata film Indonesia 2013.
0 komentar:
Posting Komentar