RESENSI FILM JOKOWI

Written By senitekno on Sabtu, 18 Oktober 2014 | 21.28






Judul Film : Jokowi
Genre : Drama
Sutradara : Anzhar Kinoi Lubis
Bintang : Teuku Rifnu Wikana, Prisia Nasution, Ayu Dyah Pasha, Susilo Badaar, Landung Simatupang, Ratna Riantiarno
Produksi : K2K Pictures
Rilis : 20 Juni 2013

Rated : *****
Seperti halnya ketika menyaksikan Habibie dan Ainun, Soegija, juga Sang Kyai, saya melepaskan pandangan politik menyaksikan Jokowi. Maksudnya agar bisa menikmati film yang disutradarai oleh Anzhar Kinoi Lubis sekaligus juga mendapatkan “sesuatu” yang biasa dibawa pulang, selain hiburan. Sekalipun berbeda dengan ketiga film di atas, harus diakui Jokowi punya magnitut karena dia adalah figur Gubernur DKI Jakarta yang sedang menjabat, bukan seperti Habibie sudah lepas dari kekuasaan politik.

Hasilnya, separuh film ini yang menceritakan bagian Jokowi masa kecil merupakan bagian yang paling menarik. Sutradara cukup detail, misalnya dalam menggambarkan situasi Surakarta pada 1961. Adegan pembukaan ketika Notomiharjo (Susilo Badar) tergesa-gesa menaiki sepeda onthelnya, dengan termos air masa itu berwrana merah (buatan RRC) melintasi pasar bersamaan dengan penggusuran pamong praja terhadap pedagang kaki lima. Notomihardjo sendiri sempat hendak ditangkap, padahal istrinya hendak melahirkan. Anak yang dilahirkan itu bernama Joko Widodo.

Notomiharjo adalah seorang tukang kayu yang pontang-panting menghidupi keluarganya. Dia sempat diusir dari rumah karena tidak sanggup bayar kontrakan rumah. Akhirnya dia ditolong oleh seorang warga yang iba melihatnya makan semangkuk soto berdua dengan istrinya sambil membawa bayi. Mereka tinggal di rumah milik Suroso sampai umur Jokowi 4 tahun. Di sini ada adegan menarik dialog antara Jokowi dengan kakeknya melalui wayang orang tentang figur Semar. “Jadi pejabat itu tidak perlu mentereng”, terang kakeknya. Straight point menanamkan nilai pada Jokowi.

Peristiwa 30 September 1965 digambarkan dengan mencekam di Surakarta, orang-orang digiring bagaikan ternak karena dituduh PKI termasuk Suroso yang menolong keluarga ini. Khawatir terlibat Notomiharjo sekali lagi membawa keluarga minggat. Padahal Notomihardjo sudah punya anak kedua. Adegan pindah ke 1973 ketika keluarga Notomiharjo tinggal di ruamh kontrakan yang pemiliknya penganut agama Katolik.

Periode ini penting karena di sinilah Jokowi ditanamkan nilai-nilai, seperti menghargai perbedaan, menolak disuap oleh kawan sepengajiannya agar tidak diadukan kabur waktu belajar. Detailnya baik sekali Rp 5 masa itu berharga bagi anak-anak untuk jajan dan beberapa keping Rp 5 disodorkan ke Jokowi dan ditolak.” Saya tidak bisa” (seingat saya jumlah itu cukup untuk membeli semangkuk bubur di Jakarta waktu saya masih SD tahun 1970-an). Untuk itu Jokowi kena pukul.

Tragisnya ketika pulang Jokowi berkelahi oleh ayahnya. Notomiharjo memukuli dirinya sendiri dengan rotan di depan Jokowi, ibunya dan tiga adik perempuannya. Ia menghukum dirinya sendiri untuk menunjukkan rasa bersalahnya. Adegan yang mencekam dan brilian, membuat saya menangis. Jokowi ditanamkan nilai untuk menepati janji. Selanjutnya dari masa ke masa falsafah yang ditanamkan kakek dan ayahnya membentuk pribadi Jokowi hingga kuliah. Seperti falsafah tukang soto yang melayani setiap permintaan harus dianut seorang pemimpin. Termasuk juga Jokowi tertarik pada music rock dan disangka ibunya ikut orang-orang yang tidak benar.

Saya tidak terlalu tertarik dengan kisah sesudah periode kuliah. Kecuali, adegan sang ayah menyerahkan tabungan untuk menebus jam tangannya mengingatkan saya pada adegan ayah yang menjual mobilnya agar anaknya kuliah dalam 9 Summers 10 Autumns. Juga kisah asmara Jokowi dan Iriana anak orang kaya menerima Jokowi apa adanya wajar masa itu banyak film Indonesia 1970-an, ketika achievement lebih diperhatikan para gadis dalam memilih pasangannya dari pada status orang tua. Jelas Iriana memilih pemuda yang jujur, anak kuliahan yang punya otak cemerlang. Selanjutnya biasa saja.

Teuku Rifnu Wikana bermain cukup apik menirukan cara bicara dan tertawa Jokowi, gestur tubuhnya walaupun tidak sekuat Reza Rahadian yang rohnya seperti kemasukkan Habibie. Prisia Nasution memang sudah biasa memainkan kharakter perempuan Jawa. Kharakter ini sudah dialami perempuan yang akrib dipanggil Pia itu dalam Sang Penari dan beberapa judul FTV. Yang paling luar biasa adalah akting Susilo Badar benar-benar total menjiwai seorang tukang kayu, orang Jawa Solo kalangan bawah dengan pemikiran rata-rata orang sezaman, keras hati pada prinsipnya dan bukan hanya gestur tubuh.

Yang patut jadi catatan ialah poster film ini agak serupa dengan Habibie dan Ainun. Kurang kreatif dan orisinil. Catatan lain kayaknya ada satu periode yang dilewatkan, yaitu ketika Jokowi memimpin kota Solo. Tahu-tahu melompat lewat adegan berita televisi ketika Jokowi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tanggung sekali. Jokowi masih di bawah Habibie dan Ainun, namun tentunya masih di atas rata-rata film Indonesia 2013.

Ditulis Oleh : senitekno ~SENITEKNO

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul RESENSI FILM JOKOWI yang ditulis oleh SENITEKNO yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 21.28

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel lainnya